Sabtu, 29 Oktober 2011

"Hedonisme" Mengejar Kenikmatan Dunia sebagai Tujuan Hidup



Hedonisme adalah paham yang mengejar kesenangan/ kenikmatan dunia (yang sifatnya sementara) sebagai tujuan hidup,sangat  tidak sejalan dengan iman Kristiani, yang mengajarkan akan "kebahagiaan kekal sebagai tujuan hidup".

"Janganlah kamu mengasihi dunia dan apa yang ada didalamnya.
Jikalau orang mengasihi dunia maka kasih akan Bapa tidak ada didalam orang itu" 
                                         ( 1 Yohanes 2:1 )

Dalam Era globalisasi dewasa ini yang ditandai dengan semakin ketatnya persaingan di segala bidang, merupakan suatu realitas yang tak dapat dipungkiri dan tak mungkin dihindari oleh setiap orang yang hidup di zaman ini. Kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi, lebih-lebih media elektronik telah menawarkan suatu gagasan baru ke seluruh dunia tanpa memperhitungkan dampak-dampak negatif yang dapat ditimbulkannya terhadap norma agama dan aklak manusia.

Mengenal Hedonisme Lebih Dekat

Hedonisme
Ajaran bahwa kesenangan adalah tujuan hidup dan kebaikan manusia yang tertinggi. Dengan kesenangan, para hedonis sejati berpegang pada pengakuan kenikmatan- kenikmatan yang tidak sempurna di dunia ini.

Hedonisme pertama kali diformulasikan oleh filsuf Yunani Aristippus. Salah paham terhadap ajaran Socrates , yang mengatakan bahwa kebahagiaan adalah tujuan akhir kehidupan,  
Aristippus menyamakan kebahagiaan dengan kesenangan. Ia berpegang bahwa kesenangan intelektual adalah lebih tinggi daripada kesenangan indera, tapi yang terpenting adalah kesenangan yang dapat diperoleh di sini dan sekarang. [Menurut Aristippus], suatu perbuatan adalah baik, dan karena itu merupakan kebajikan, sepanjang itu memberikan pemuasan pada saat ini.
[Prinsip] Hedonisme disempurnakan oleh Epicurus, yang menggabungkannya dengan teori fisik dari Demokritus

Bagi Epicurus, tujuan hidup bukanlah kesenangan intensif tetapi kedamaian pikiran yang tetap, suatu tingkatan ketenangan yang ceria. 
Di atas semua itu seseorang harus menghindari ketakutan terhadap Tuhan dan ketakutan terhadap kematian. Orang bijak tersebut menetapkan bahwa sebelum kematiannya ia telah mempunyai sebanyak mungkin jumlah kesenangan dan sesedikit mungkin kesakitan/ penderitaan. 
Moderasi dianjurkan namun bukan atas dasar pertimbangan moral namun atas kesanggupan seseorang untuk menikmati kesenangan di masa mendatang dalam hidupnya. 
Keinginan/ hasrat harus dibatasi kepada batas- batas yang didalamnya hal tersebut dapat dipuaskan.  
Apapun yang meningkatkan kesenangan ataupun kedamaian pikiran secara umum adalah baik, dan apapun yang menguranginya adalah buruk.  


Hedonisme modern adalah filosofi moral yang dipilih oleh mereka yang mengingkari atau meragukan keberadaan hidup yang akan datang. 
(Diterjemahkan dari Fr. John Hardon’s Modern Catholic Dictionary)


Melihat pengertian di atas, maka prinsip hedonisme sesungguhnya tidak sesuai dengan ajaran Imam katolik Katekismus yang mengajarkan bahwa "Manusia diciptakan dengan kerinduan untuk mencapai kebahagiaan, namun kebahagiaan yang dimaksud di sini adalah kebahagiaan yang tidak terbatas oleh kesenangan duniawi, tetapi kebahagiaan yang tak terukur yang hanya dapat dipenuhi oleh Tuhan".



 Hedonis sebagai Gaya Hidup terkini

Promosi bertubi-tubi yang dilancarkan oleh berbagai media massa telah menawarkan kenikmatan hidup dengan gaya modern, konsumtif dan jet-set (mewah). Gaya hidup yang dituntut dan dikejar oleh hampir setiap orang sebagai pelaku kehidupan modern adalah kehidupan yang bebas tanpa batas, baik batas etika kesopanan, moral maupun aklak. Roda kehidupan yang dipacu dengan akselerasi tinggi hingga menjadi cepat panas, disamping juga ketatnya dunia kompetisi, khususnya di bidang ekonomi dan prinsip-prinsip pemenuhan kebutuhan serta keinginan manusia, telah memaksa manusia kini tidak lagi berperilaku dan bertindak manusiawi tetapi dengan seenaknya sendiri (semau gue).

Barangkali inilah efek negatif dari menjamurnya mall, plaza dan hypermarket lainnya. Mengaku sebagai orang timur yang beragama, namun mereka tidak risih bermesraan di depan publik . ini adalah juga gaya hidup mereka. Hal lain yang membuat hati kita gundah- menyimak berita pada televisi dan Koran-koran bahwa sudah cukup banyak pemuda-pemudi kita yang menganut paham hidup free sex dan tidak peduli lagi pada orang-orang sekitar. Hamil di luar nikah bukan jadi ‘aib lagi, malah sudah dianggap model karena para-para model mereka juga banyak yang begitu seperti digossipkan oleh media elektronik (TV) dan media cetak (majalah, Koran dan tabloid).wa hedonisme sebagai fenomena dan gaya hidup sudah tercermin dari prilaku mereka sehari-hari. Mayoritas pelajar berlomba dan bermimpi untuk bisa hidup mewah. Berfoya-foya dan nongkrong di kafe, mall dan plaza. Ini merupakan bagian dari agenda hidup mereka.

Bagi banyak orang, mencari rizki yang halalan toyyiban (halal dan baik) nyaris dianggap suatu pekerjaan yang sia-sia. Adanya peluang untuk korupsi, kolusi, manipulasi dan sejenisnya yang berseliweran di depan hidung, benar-benar  membuat mata mereka menjadi "silau". Rangsangan manipulasi dan kolusi itu menjadi "klop" manakala kita melihat keadaan ekonomi yang semakin sulit akhir-akhir ini. 

Susahnya mencari pekerjaan, harga barang-barang kebutuhan yang terus melambung serta gaya hidup yang semakin men-jetset hingga membuat kebanyakan manusia jadi lupa diri, tabrak sana tabrak sini tanpa memperdulikan norma agama, yang penting fulus (uang) bisa didapat dengan mudah walupun harus dengan cara yang kotor dan keji.

Keadaan seperti ini sesuai dengan apa yang telah disyairkan oleh seorang penyair muda di Zaman Jahiliyah dahulu yang bernama Thorofah bin Al-'Abdi : "‘Pabila anda tak dapat memuaskan keinginanku, biarlah aku memenuhinya dengan seenakku sendiri, orang akan memuaskan nafsunya selama hidup. Setelah mati nanti anda akan tahu bahwa kita semua haus !". 

Manusia yang menyatakan dirinya "modern" pastilah menjadi pengikut aliran ini walaupun tidak dengan terang-terangan memproklamirkan dirinya, 
kecuali orang-orang yang diperlihara Tuhan.



 Hedonisme adalah sebuah Filsafat Etika

Barangkali, banyak dari kita yang belum ngeh mengenai hedonisme sebagai sebuah sistem filsafat etika yang muncul di Barat. Menurut kamus Indonesia Wikipedia, Hedonisme berasal dari bahasa Yunani yang derivasi katanya; ‘hedon’ (pleasure) dan ‘isme’. Yang diartikan sebagai paradigma berpikir yang menjadikan kesenangan sebagai pusat tindakan (any way of thinking that gives pleasure a central role). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hedonisme diartikan sebagai pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Secara general, hedonisme bermakna, kesenangan merupakan satu-satunya manfaat atau kebaikan.  

Dengan demikian hedonisme bisa didefinisikan sebagai sebuah doktrin (filsafat etika) yang berpegangan bahwa tingkah laku itu digerakkan oleh keinginan atau hasrat terhadap kesenangan dan menghindar dari segala penderitaan.

Paradigma hedonistis memfokuskan pandangannya pada pencarian kesenangan an-sich dan penghindaran terhadap segala penderitaan
Namun dewasa ini substansi secara harfiah sudah tidak lagi menemukan relevansinya. Nampaknya tidak ada persamaan persepsi mengenai apa-apa saja yang sebenarnya bisa mendatangkan kesenangan dan apa-apa saja aktivitas yang bisa mendatangkan penderitaan. Esensi filosofis hedonistik terkadang punya konotasi seksual atau pemikiran liberal.

Berbicara mengenai hedonisme, maka kita tidak bisa mengesampingkan seorang filosof Yunani yang dinilai punya peranan signifikan dalam membangun epistemologi hedonisme, yaitu Epicurus of Sámos (341-270 SM). Yang kelak prinsip-prinsip ajarannya tersebut dikenal dengan Epicureanisme. Epicureanisme adalah sebuah sistem filsafat yang bersumber dai ajaran-ajaran Epicurus yang dicetuskan sekitar tahun 307 SM
Inti epistemologi Epicureanisme dibangun diatas tiga kriteria kebenaran: Sensasi atau gambaran (aesthêsis), pra-konsepsi atau prasangka (prolêpsis) dan terakhir feelings atau perasaan (pathê). 

Bagi Epicurus, kesenangan yang paling tinggi adalah tranquility (kesejahteraan dan bebas dari rasa takut) yang hanya bisa diperoleh dari ilmu pengetahuan (knowledge), persahabatan (friendship) dan hidup sederhana (virtuous and temperate life)
Ia juga mengakui adanya perasaan-perasaan akan kesenangan sederhana (enjoyment of simple pleasures), namun Epicurus mengartikan kesenangan sebagai sesuatu yang harus jauh dari hasrat-hasrat jasmaniah (bodily desires), semisal seks dan hawa nafsu. 

Ia menguraikan, ketika kita makan, jangan sampai terlalu kenyang dan berlebihan, karena bisa menyebabkan ketidakpuasan (dissatisfaction) nantinya
Maka konsekuensinya, nantinya dikemudian hari, seseorang tidak layak untuk menghasilkan makanan-makanan yang lezat. Demikian juga, sejatinya seks bisa mendorong untuk meningkatkan birahi atau libido. Namun disisi lain, Epicurus beranggapan, terlalu sering melakukan hubungan seks akan mengurangi hasrat seksual, yang akan mengakibatkan pihak lain merasa tidak puas dengan dengan pasangan ngeseks-nya dan pastinya menyebabkan ketidakbahagiaan (unhappiness).  

Epicureanisme dianggap oleh beberapa kalangan sebagai bentuk hedonisme kuno. 
Epicurus mengidentifikasikan ‘kesenangan’ dengan ‘kesentosaan’ (tranquility) dan penekanan kepada reduksi hasrat berlebih terhadap perolehan spontan kesenangan (the immediate acquisition of pleasure)


  Jadi menurut Epicurus, kesenangan bukanlah sesuatu yang pada dasarnya menyenangkan, justru kesenangan adalah kondisi sejahtera. 
                                        Karena menurut dia kesenangan itu relatif......


Konsep Dasar
Ide mendasar dibalik makna hedonis mengajarkan kepada kita bahwa setiap tindakan yang baik, bisa diukur pada seberapa banyak kesenangan dan seberapa kecil penderitaan yang bisa diproduksi. 
Dalam koridor teoretis, hedonisme pun bertalian dengan sistem filsafat etika yang lainnya seperti utilitarianisme, egoisme dan permisifisme.  

 Dalam terma singkatnya, seorang hedonis akan mengarahkan segala usahanya untuk memaksimalkan ‘rasio’ 
(pleasure over pain)


Beberapa abad setelah Epicurus, datang John Stuart Mill (1806-1873) seorang filosof utilitarianisme berkebangsaan Inggris dan Jeremy Bentham (1748-1832), seorang filosof Inggris, yang juga pendiri University College London (UCL), keduanya menetapkan beberapa prinsip fundamental hedonisme berdasarkan teori etika utilitarianisme (paham yang mengatakan bahwa manusia dalam tindakannya selalu mencari untung dan manfaat). 

Menurut mereka, nilai-nilai utilitarianisme merupakan sebuah pijakan dasar bagi berdirinya nilai-nilai filsafat hedonisme dalam seluruh tindakan yang mengarah kepada proses pencapaian kebahagiaan yang paling besar bagi seluruh manusia. 



Kawula muda korban Hedonis terbesar

Dalam kamus Collins Gem (1993) dinyatakan bahwa hedonisme adalah doktrin yang menyatakan bahwa kesenangan adalah hal yang paling penting dalam hidup. Atau hedonisme adalah paham yang dianut oleh orang-orang yang mencari kesenangan hidup semata-mata (Echols,2003).

Gaya hidup hedonisme sama sekali tidak sesuai dengan tujuan pendidikan bangsa kita.
Tujuan pendidikan Negara kita adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (pembukaan UUD 1945, alinea 4). Tujuannya tentu bukan untuk menciptakan bangsa yang hedonisme, tetapi bangsa yang punya spiritual, punya emosional quotient- peduli pada sesama dan tidak selfish atau mengutamakan diri sendiri. Apakah banyak pelajar yang berpotensi menjadi generasi yang hedonism yaitu generasi yang memandang kesenangan hidup dan kenikmatan materi sebagai tujuan yang utama ? Jawabnya adalah “ya”. Lantas apa indikatornya ?


*Kecenderungan orang tua yang pro dengan gaya hidup hedonism, memandang anak bukan sebagai titipan Ilahi. Tapi memandang anak sebagai objek untk diotak atik. Sejak kecil anak sudah diperlakukan dengan hal yang aneh-aneh; anak dianggap lucu kalau rambutnya di gondrongkan, nyanyinya ya nyanyi tentang cinta- kalau perlu syair yang jorok. Katanya Sejak kecil anak didik bahwa shopping yang ngetren musti di mall, dan makanan yang bergizi adalah KFC atau burger. Orang tua yang pro hedonisme tidak begitu peduli dalam mengasah spiritual anak. Tidak heran kalau anak-anak mereka cenderung menjadi generasi free thingker atau generasi yang kurang diajar untuk mengenal Sang Khalik.
Sampai sekarang tetap orang, termasuk pelajar/generasi muda, memandang segala sesuatu yang berasal dari Barat sebagai hal yang hebat. Pelajar merasa minder kalau ketahuan lebih mengidolakan lagu daerah, lagu Minang, dan lagu dangdut. Mereka harus mengidolakan lagu dan musisi dari barat.


*Faktor bacaan memang dapat mencuci otak pelajar untuk menjadi orang yang memegang prinsip hedonisme. Adalah kebiasaan pelajar kalau pulang sekolah pergi dulu ke tempat keramaian, pasar, paling kurang mampir di kios penjualan majalah dan tabloid. Ada sejumlah tabloid dan majalah, ada untuk anak-anak, remaja, dan dewasa. Tabloid dan majalah untuk remaja ada yang punya tema tentang agama, olahraga, pendidikan, dan majalah/tabloid popular. Umumnya yang berbau agama dan pendidikan kurang laku. Yang paling laris adalah tabloid dan majalah remaja popular yang isinya banyak bersifat hura-hura- shopping dan kencan. Akibatnya pelajar sering bermasalah dengan disiplin sekolah.

*Pendidikan di sekolah sangat memegang peranan untuk menangkal paham hedonisme dari kehidupan generasi muda kita .Sampai detik ini semua sekolah di Indonesia tidak pernah mengizinkan siswa pria ya memakai anting-anting pada sebelah telinga, memakai tattoo, mengambil style rambut seperti artis atau atlit- di gunting panjang/ gondrong atau disisir punk seperti duri landak. Selanjutnya sampai detik ini sekolah tetap mengharapkan siswanya supaya berpenampilan rapi, kalau boleh gagah seperti ABRI, ke sekolah bukan ibarat artis pergi ke concert- seragam dengan celana melorot, harus tersumbul sedikit celana dalam di bagian punggung, kaki di beri gelang atau rantai, ibarat kaki gajah di Way Kambas Lampung, tangan dan jari penuh dengan assesori. Pelajar-pelajar yang berjiwa hedonis umumnya tidak begitu menghargai waktu dan dan jalannya lemas, beda dengan kaum hedonis di Barat. Mereka kerja keras mati-matian untuk mewujudkan hedonismeenya. Sementara pelajar kita yang menyenangi gaya hidup hedonisme cenderung bekerja dan belajar santai (karena mereka punya moto: hidup santai masa depan cerah) mereka terlalu bergantung dan menghabiskan harta orang tua.


*Pengaruh tontonan, tayangan televisi (profil sinetron, liputan tokoh selebriti dan iklan) juga mengundang pelajar untuk mengejar hedonisme. Majalah remaja popular dan kebanyakan tema televisi sama saja. Isinya banyak mengupas tema tema berpacaran, ciuman, pelukan, perceraian, pernikahan. hamil di luar nikah dan bermesraan di muka publik sudah nggak apa-apa lagi, cobalah dan lakukanlah ! seolah-olah beginilah ajakan misi televisi dan majalah yang tidak banyak mendidik, kecuali hanya banyak menghibur.



Banyak pelajar dengan gaya hidup hedonisme yang mereka sadur lewat budaya hedo dari barat, terinspirasi oleh model-model atlit dan artis yang info perkembangannya selalu mereka update tiap saat. 

Kemudian gaya hidup hedo (hedonisme) juga diperkaya oleh suguhan majalah pop remaja dan belasan stasiun televisi swasta yang bernuansa sekuler dengan gaya hidup figur yang penuh glamour dan kepalsuan. Namun ada bedanya, yaitu tokoh tokoh yang bergaya hidup hedonisme dari dunia Barat dan dari Indonesia sendiri, mereka memperoleh gaya hidup hedonisme lewat kerja keras. Sementara remaja dan juga mahasiswa (juga banyak terjebak dalam gaya hedonisme) menjadi hedonism dengan cara bermimpi, kadang-kadang tampil keren karena memakai baju dan celana pinjam atau hidup dengan gaya hedonisme lewat menggunakan fasilitas orang tua, inilah yang dikatakan sebagai hedonisme picisan.


Memilih gaya hidup hedonisme, terus terang tidak akan pernah memberikan kepuasan dan kebahagiaan. 
Ibarat minum air garam, makin diminum makin haus. 

Bagi yang belum terlanjur menjadi pengidola hedonisme maka segeralah balik kiri, berubah seratus delapan puluh derajat. Bahwa kebahagian hidup ada pada hati yang bening, saatnya bagi kita kembali untuk menyuburkan akar-akar spiritual- kembali ke jalan Ilahi, tumbuhkan jiwa peduli pada sesama- buang jauh jauh karakter selfish (mementingkan diri sendiri), dan miliki multi kekuatan – kuat otak, kuat otot, kuat kemampuan berkomunikasi, kuat beribadah, dan kuat mencari rezki.

Banyak yang melihat, hedonisme tidak punya kaitan dengan egoisme. 

Tapi anehnya, utilitarianismenya John Stuart Mill terkadang diklasifikasikan sebagai sebuah bentuk hedonisme, yang mana klasifikasi tersebut juga membenarkan tindakan moral melalui kontribusi berikutnya kepada manfaat tertinggi dan kebahagiaan. Hal ini juga –bisa dikatakan- sama dengan hedonisme altruistik (altruisme; paham mendahulukan orang lain). 

Mengingat, diantara doktrin-doktrin hedonistik ada yang mengajarkan untuk melakukan apa saja yang bisa membuat kebahagiaan pribadi seseorang (via usaha yang panjang), Mill juga menyetujui tindakan-tindakan yang dapat membuat orang-orang bahagia. Dengan arti lain, menyandingkan individualisme dengan kolektifisme.

Adalah benar bahwa, Epicurus merekomendasikan kepada kita untuk mengejar kesenangan dan kebahagiaan, namun harus diingat ; "dia tidak pernah mengajarkan bahwa kita harus menjalani kehidupan dengan mementingkan diri sendiri (selfish) yang berdampak kepada terhalangnya kesenangan dan kebahagiaan untuk orang lain". 


Tuhan mengajarkan kepada kita bahwa, kesenangan tidak diukur oleh akal dan karakter kesenangan itu sendiri,
melainkan ditetapkan oleh-Nya.....

"Sebab semua yang ada di dunia ini, yaitu KEINGINAN DAGING dan KEINGINAN MATA serta KEANGKUHAN HIDUP, bukanlah berasal dari Bapa!
Melainkan dari dunia.
Dan dunia ini sedang lenyap dengan segala keinginannya,...
tetapi orang yang melakukan KEHENDAK ALLAH tetap hidup selama-lamanya."
 ( 1 Yohanes 2:16-17 )





3 komentar:

  1. @Ronny Dee : TQ so much 4ur possitive' comment brother...
    God blessing u abundantly! :)

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus